Ketika Ojol Diperah Sistem : Di Mana Negara Saat Ekonomi Digital Tak Adil?


Doc.Oleh: Muhammad Yasin, ketua Umum HMI Komisariat Sains dan Teknologi Cabang Gowa Raya.
Garismerah
| Opini
- Perkembangan ekonomi digital di Indonesia, terutama di sektor transportasi daring, memang membuka banyak peluang. Namun, di balik geliat pertumbuhan tersebut, tersembunyi realitas getir yang dialami oleh para mitra pengemudi ojek online (ojol). 


Ketimpangan relasi antara aplikator dan mitra telah berubah menjadi ketidakadilan struktural yang terus dibiarkan tanpa koreksi negara.


Berbagai bentuk potongan biaya, mulai dari sewa aplikasi, biaya perjalanan aman, hingga potongan hasil perjalanan diberlakukan tanpa mekanisme transparan. 


Berdasarkan informasi dari sejumlah komunitas pengemudi, potongan ini bahkan bisa mencapai lebih dari 20 persen dari total pendapatan. Angka ini sangat memberatkan mitra di tengah tekanan hidup sehari-hari.


Lebih mengejutkan lagi, potensi dana yang dikumpulkan dari skema tersebut telah mencapai angka fantastis : sekitar Rp 9 miliar per hari atau lebih dari Rp 3 triliun per tahun, sebagaimana pernah diungkap oleh Anggota DPR RI Adian Napitupulu.


Ironisnya, semua itu mengalir langsung ke kantong perusahaan aplikator tanpa ada payung hukum yang jelas dan tanpa pengawasan ketat dari pemerintah.


Di sinilah letak persoalan besarnya : negara absen. Regulasi yang seharusnya melindungi pekerja digital justru tertinggal jauh dari praktik di lapangan.


Pemerintah tampak ragu menghadapi kekuatan korporasi teknologi, padahal tanggung jawab konstitusional negara adalah melindungi seluruh warga, terutama yang paling rentan dalam sistem.


Sebagai organisasi mahasiswa berbasis sains dan teknologi, kami di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Sains dan Teknologi Cabang Gowa Raya merasa terpanggil untuk bersuara.


Kami tidak anti terhadap kemajuan teknologi. Kami justru mendorong agar teknologi menjadi alat pembebasan, bukan alat pemerasan ekonomi terselubung.


Sudah saatnya negara hadir secara tegas. Regulasi harus diperbarui, skema potongan harus diaudit secara terbuka, dan perusahaan aplikator harus dituntut transparan dalam pembagian hasil.


Jika tidak, kita hanya akan mewarisi ekosistem digital yang timpang dan rapuh, tempat teknologi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan meninggalkan luka sosial bagi jutaan pekerja informal digital. 

Sebab teknologi seharusnya memanusiakan manusia, bukan sebaliknya.