![]() |
| (Suatu Diskursus Menuju Guru Merdeka) Oleh Muhammad Ichbal Zainudin |
Garimerah, Opini - Setiap tahunnya dirayakan sebagai Hari Guru Nasional (HGN) Pada Tanggal 25 November 2025, Setidaknya untuk kalangan guru sendiri, dan sedikit lebih luas pada lingkup pendidikan. Latar sejarah perayaan HGN sendiri tidak begitu jelas. Namun, mengingat negara kita lebih senang dengan politik pencitraaan, maka kuat dugaan saya, HGN adalah bagian dari pencitraan.
Pencitraan untuk siapa? Untuk mereka yang senang menggunakan keluguan guru demi kepentingannya, yang tentu saja politis.
Lalu mengapa isu guru bisa digunakan untuk kepentingan politik? Salah satu jawaban singkatnya bisa diambil dari hikmah cerita ini. Suatu ketika, teman saya yang pernah diminta menjadi dosen di sebuah PTN secara tiba-tiba berhenti menjadi dosen dan memilih fokus sebagai guru di SMA.
Seperti saya, beliau adalah guru matematika, kasta tertinggi dalam dunia per-guru-an di sekolah-sekolah. Harap jangan diartikan secara serius ya, karena kasta yang saya maksudkan itu adalah tingkatan guru yang paling banyak dihindari siswa.
Bukan tertinggi gaji atau kedudukan sosialnya, tetapi paling atas dalam urusan tidak disenangi siswa. Jika ada pemilihan guru favorit, sulit bagi mereka terpilih, Apakah mereka (dan saya) peduli? Alhamdulillah, hingga saat ini TIDAK.
Kami lebih peduli anak-anak yang bahkan belum menghafal perkalian dua, apalagi pembagian nol koma tiga satu oleh dua koma empat sembilan.
Lanjut ke cerita teman saya tadi. Karena penasaran saya pun bertanya, mengapa meninggalkan pekerjaan bergengsi sebagai dosen dan memilih menjadi guru di SMA? Jawaban beliau adalah karena soal penghormatan dan pengakuan sosial. Menurut beliau, dalam kehidupan sosial, dosen itu tidak terlalu mendapat tempat di hati masyarakat kecil.
Jarang ada masyarakat yang melakukan hajatan dan melibatkan dosen, mungkin karena kedudukan mereka yang dianggap terlalu tinggi atau karena jarangnya para dosen bergaul dengan kalangan bawah (tentu ini relatif dan bukan generalisasi).
Sementara itu, lanjut teman saya, setiap kali masyarakat melakukan kegiatan apapun, yang memerlukan sebuah panitia bisa dipastikan guru akan berada di puncak daftar calon ketuanya, sembilan puluh sembilan persennya terpilih.
Yang tidak terpilih biasanya karena tidak bersedia, bukan karena tidak mampu. Maklum, pemilihan panitia hajatan kampung tidak pakai pemungutan suara, hampir seratus persen aklamasi. Sebutkan kepadaku guru mana yang pernah ditolak memimpin sebuah tim kecil di tingkat RT?
Saya pun setuju tanpa syarat dengan argumen teman tersebut. Saya sendiri merasakan betapa selama puluhan tahun menjadi guru, selalu ada dalam setiap momentum sosial kemasyarakatan.
Menjadi pengurus pemilu, panitia pernikahan, imam masjid, khatib sholad id, panitia zakat, panitia qurban, sepakbola, karang taruna, urus mayat dan sederet kegiatan lainnya. Keterlibatan saya dalam hal-hal demikian, tidak saja memberikan kepuasan mengekspresikan diri, tetapi muncul rasa penghormatan dan pengakuan luar biasa dari masyarakat atas kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.
Maka bisa dimengerti bahwa, begitu banyak politisi yang memanfaatkan guru untuk kepentingan mereka. Tanyakan kepada para caleg atau calon kepala desa yang terpilih, siapa yang membantu perjuangan mereka? Diantaranya adalah para guru.
Karena rasa hormat dan pengakuan yang besar tadi, maka para pemilih begitu percayanya dengan ajakan guru untuk memilih orang tertentu. Pada poin inilah, alasan menetapkan Hari Guru Nasional sebagai sarat kepentingan politis menemukan pembenarannya. Mereka yang memiliki kepentingan untuk berkuasa mampu membaca kecenderungan masyarakat untuk mendengarkan para guru. Maka ketika guru dihormati dengan memberikannya satu hari spesial dalam kalender, secara politis memberikan dampak bagi masyarakat dan legitimiasi akan mudah diperoleh, dipertahankan dan diperpanjang.
Tentu saja, saya tidak dalam posisi mencurigai. Apa yang terjadi belakangan terhadap para guru adalah alasan yang cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa negara kita tidak benar-benar serius dalam perlindungan dan pengakuannya terhadap profesi guru. Tahun lalu dengan gagah berani Presiden berpidato soal kesejahteraan guru.
Beliau mengatakan bahwa walau baru berkuasa sebulan pemerintahannya suskes menaikan kesejahteraan guru sebesar satu kali gaji pokok. Ternyata apa yang beliau maksud adalah tunjangan profesi yang pada kenyataannya sudah berlaku sejak tahun 2008. Hal ini beliau lakukan semata-mata hendak memenuhi janji gombal kampanye pemilihan presiden tahun sebelumnya. Inilah salah satu bentuk pemanfaatan isu guru demi kepentingan politik. Yang mau bantah silahkan, tapi itulah kondisi rilnya.
Saat pemilu guru terpesona dengan janji kampanye, dan setahun setelahnya mereka memanen hasil dalam bentuk gombalan kosong berikutnya. Menyedihkan bukan?
Disamping itu isu kenyamanan guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya juga tak kalah seksi. Kini seorang Kepala Sekolah sangat mudah dipecat dengan alasan sepele. Atau guru yang diberhentikan karena pungutan seujung kuku, dipenjara karena menyuruh sholat, dan dibully se-nusantara karena larangan menggunakan make up menor.
Hanya demikiankah isu guru? Belum. Apa yang saya sebutkan itu hanya ujian fisik, karena masih ada yang lebih mengerikan. Apa itu? Sistem pendidikan. Ya, sistem pendidikan kita tidak berpihak pada guru. Di satu sisi guru harus menjalankan tugasnya secara profesional dan idealis, namun di lain pihak guru wajib tunduk pada kekuasaan yang jelas-jelas pragmatis berbau politis.
Di satu sisi guru harus mencerdaskan anak bangsa, mengajarinya baca, tulis dan hitung, namun di sisi lainnya dia harus memberikan nilai yang tidak masuk akal kepada mereka yang bahkan jarang masuk kelas. Saya akan fokus pada dua hal ini, kurikulum dan evaluasi untuk memperpanjang refleksi ini.
Harapannya jika suatu saat ada perubahan menuju positif, guru bisa melakukan tugas secara profesional dengan dukungan kurikulum yang sesuai dan evaluasi adil agar tak ada guru yang sulit tidur karena dipaksa meninggalkan idealismenya.
Pertama soal kurikulum. Terhitung sejak 2005, hingga saat ini kita sudah melampaui rekor jumlah kurikulum jika dibandingkan dengan 60 tahun kehidupan bernegara sebelumnya. KBK, KTSP, Kurtilas, Kurikulum Darurat 2020, Kurikulum Merdeka dan kini entah apa? Saya tidak anti terhadap perubahan, karena perubahan itu wajib.
Yang saya tak paham adalah mengapa begitu mudahnya soal pendidikan ini di bawa ke rana politik? Mengapa setiap menteri pendidikan hadir dengan visinya masing-masing? Bukankah kita adalah sebuah negara, bukan komunitas yang suka – suka membuat aturannya? Diantara akibat langsung dari perubahan yang sangat politis tersebut adalah muatan pelajarannya yang tidak konsisten. Karena tidak konsisten, maka profil lulusan kita pun amburadul. Kompetensi minimal anak-anak kita yang telah lulus sekolah begitu memprihatinkan.
Jangan tanya soal matematika yang rumit, bahkan menyebut sila pancasila pun mereka ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Kemampuan komputasi dasar seperti penjumlahan, pengurangan dan perkalian sangat memprihatinkan. Kalaupun ada pengecualian, itu bisa dipastikan hanya berasal dari anak dengan latar belakang khusus, misalnya anak polisi, guru, tentara, PNS atau para ustadz.
Mayoritasnya adalah berlatar keluarga yang seluruh hidupnya berkutat dengan laut, kebun, pasar dan hampir tak ada waktu menanyakan pelajaran anaknya di sekolah. Pendidikan bagi mereka adalah tanggung jawab mutlak sekolah. Bahkan yang lebih mengerikan adalah masih ada anak yang tidak lancar membaca. Bukan baca bahasa Inggris atau Arab, melainkan membaca dalam bahasa Indonesia.
Inilah faktanya. Dalam situasi demikianlah para guru matematika diminta mengajar soal logaritma, soal program linier, soal statistik dan lainnya. Jika anda menjadi guru matematika, ajari saya cara mengajarkan logaritma kepada anak yang bahkan masih mengeja. Ajari saya cara membelajarkan anak yang tidak bisa berbahasa indonesia dalam materi statistik.
Jika anda tidak sabar, mungkin 10 menit pertama di hari pertama anda mengajar sudah pamitan dengan kepala sekolah.
Yang kedua adalah soal evaluasi. Sudah hampir sepuluh tahun Ujian Nasional tak lagi menjadi trending topik. Jika dulu media nasional memberitakan anak-anak yang stres, bahkan hingga bunuh diri, maka kini mereka pensiun dari isu itu. Ujian Nasional yang dianggap sebagai biang dari terpuruknya kualitas SDM nasional telah berhasil dimatikan.
Lalu negara dengan bijaknya menyerahkan kelulusan anak itu kepada sekolah. Apakah ini baik dan benar? Sepintas terlihat negara sangat peduli dengan warganya. Tetapi negara alpa bahwa beban berat telah mereka pindahkan kepada para guru. Negara lupa bahwa para guru yang saban hari bertemu dengan orang tua akan terasa berat memutuskan status pendidikan anaknya. Memberikan nilai secara objektif atau apa adanya bisa memastikan anak tidak lulus.
Dampaknya adalah guru dimaksud akan dimusuhi dan bisa jadi terancam keselamatannya. Maka demi pertimbangan kelanjutan hidupnya, sang guru akan mengirimkan nilai hasil belas kasihan. Nilai hasil belas kasihan dengan metode karol adalah pilihan terbaik agar wajah masih bisa tersenyum ketika bertemu dengan orang tuanya selepas sholat berjamaah. Wahai pak menteri yang budiman, dapatkah anda membayangkannya?
Apakah saya tidak senang anak-anak lulus? Tentu saja tidak demikian. Saya hanya menginginkan lulusnya seorang anak itu adalah hasil perjuangan, bukan belas kasihan. Saya menghendaki anak-anak itu memperoleh apa yang pantas mereka raih, bukan karena dekatnya jarak rumah mereka dengan gurunya.
Hidup mereka kedepan tidak bisa disandarkan pada belas kasihan dan kedekatan dengan orang tertentu, melainkan pada seberapa kerasnya mereka berjuang. Maka mengapa saya tidak boleh mengajari mereka bagaimana seharusnya berjuang? Bukankah saya berdosa memberikan harapan palsu buat mereka? Dengan idealisme demikian, mengapa saya wajib memberi nilai 80 untuk anak yang tidak bisa mengurangkan 171 dengan 15? Mengapa negara memaksa guru Fisika memberikan nilai 81 untuk anak yang tidak bisa membedakan besaran dan satuan?
Saya, dan mungkin ribuan guru lainnya hanya menginginkan agar dalam penilaian terhadap murid itu dilakukan secara adil, dan jujur. Jika saya memberikan nilai merah kepada seorang anak, bukan karena saya tidak suka atau membencinya. Tetapi izinkan saya mengatakan bahwa itu semua bentuk kecintaan saya kepada anak yang bersangkutan dan kepada kedua orang tuanya. Untuk sang anak, dengan nilai apa adanya dia diharapkan dapat termotivasi memperbaiki dirinya. Agar nilainya meningkat, dia harus belajar, harus berjuang. Sedangkan untuk kedua orang tua, dengan nilai apa adanya mereka jadi tahu kemampuan anaknya.
Saya tidak tega membohongi kedua orang tuanya dengan memberikan nilai yang lebih mirip fatamorgana, seolah pintar padahal bodoknya tak habis dibagi kepada warga se RT.
Keadaan kini benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Dunia pendidikan kita sedang berada di persimpangan, yang bisa jadi lebih banyak akan masuk jurang ketimbang jumlah mereka yang akan masuk taman yang indah.
Lebih banyak yang akan menjadi beban di masyarakat, daripada calon pemimpin potensial yang sangat kita perlukan. Kita sudah terlibat dalam menghasilkan calon koruptor, sangat sedikit bakal pemimpin impian yang adil, jujur dan pantas. Lalu apakah saya hanya berhenti di catatan beberapa lembar ini? Tidak.
Saya akan mengusulkan dua solusi sekaligus, menemani teman-teman guru yang hari ini sumringah karena mendapat hadiah dari anak-anak didiknya. Kedua hal itu adalah reformasi pendidikan dasar dan kembalinya Ujian Nasional.
Dengan segala hormat kepada kawan-kawan guru yang mengajar di SD/MI, saya tawarkan solusi pertama adalah soal reformasi pendidikan dasar. Bukan apa-apa, jika anak tidak pandai matematika, maka hal itu bisa dimaklumi. Anak yang tidak panda fisika, biologi dan kimia adalah hal-hal wajar yang bisa dimaklumi oleh siapapun guru. Namun, ketika ada begitu banyak anak yang tidak bisa membaca, ini jelas ada yang salah. Something wrong.
Mengapa banyak anak yang tidak bisa membaca? Ini jelas pertanyaan mendasar. Pertanyaan yang jawabannya akan mengarahkan kita pada bagaimana seharusnya pembelajaran dilakukan. Menurut hemat saya, pembelajaran di kelas dasar, 1, 2 dan 3 adalah ibarat pondasi sebuah rumah. Karena merupakan pondasi, pelaksanaannya pun harus dilakukan secara serius, teliti dan tidak boleh ada sedikitpun kesalahan.
Para kepala sekolah harus menempatkan guru terbaik untuk mengajar di kelas dasar. Pastikan bahwa tidak boleh ada anak yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Kebiasaan menaikan anak ke kelas berikutnya yang belum bisa membaca harus dihentikan.
Sudah saatnya guru diberi kebebasan untuk memutuskan layak atau tidaknya anak naik kelas tanpa campur tangan birokrasi yang relatif hanya cari aman, savety playing. Kepala sekolah pun harus memiliki keberanian untuk merubah keadaan dan tidak mudah tertekan. Tahun lalu, saya berkunjung ke sebuah sekolah yang hampir semua siswa laki-lakinya tidak bisa atau tidak lancar membaca. Saya membayangkan, 4 tahun kedepan (mereka siwa kelas 6) mereka akan menjadi siswa SMA dan sangat mungkin akan menjadi murid saya.
Tidakkah mereka akan menjadi rombongan berikut dari siswa-siswi siswa yang memaksa saya berbohong soal nilai? Jika tidak ada perubahan, maka saban tahun guru-guru hanya akan melakukan rutinitasnya meluluskan anak yang tidak lancar baca, apalagi berhitung. Begitu seterusnya, sampai pensiun, Betapa menyedihkan? Kapankah guru bahagia?
Disamping strategi pembagian tugas mengajar yang tepat sesuai kualitas personalia yang dimiliki, para Kepala pendidikan dasar harus menjadi juru kampanye Gerakan literasi bagi anak-anak, dan juga untuk para gurunya. Minat baca dikalangan anak – anak kita saat ini sangat minim. Selama beberapa tahun terakhir, saya belum pernah melihat ada anak sekolah yang membuka buku di teras sekolah, di taman atau bahkan di perpustakaan sekalipun.
Apalagi saat ini dengan banyaknya aplikasi berbasis AI (kecerdasan buatan, artificial inteligence), telah membawa kita ke titik terendah dalam urusan membaca. Kehadiran AI yang serba cepat, mengikis habis minat berpikir yang diawali dengan kegiatan membaca. Akibatnya, nilai anak secara riil memang tinggi, tapi sangat sempit dari sisi pemahaman. Semuanya karena apa yang tertulis dalam lembar jawaban bukan hasil pemikirannya sendiri tetapi dari hasil olahan mesin.
Lalu bagaimana kita mengatasinya? Menurut hemat saya, sebagai bagian dari kampanye literasi, sekolah dasar bisa memperbanyak lomba menulis, cerdas cermat, pidato, debat sederhana, dan diskusi secara rutin untuk menggali potensi siswa. Kegiatan – kegiatan-kegiatan itu memungkinkan para siswa terdorong untuk membaca referensi karena dipaksa untuk bisa mempertanggungjawabkan apa yang diucapkannya atau dibicirakannya. Dengan budaya membaca yang kuat di tingkat dasar, kita berharap akan mereka bawa ke jenjang berikutnya.
Seperti yang saya ibaratkan sebelumnya, karena pendidikan dasar adalah pondasi maka apapun yang mereka lakukan di sana akan terus terbawa hingga beranjak dewasa. Namun perlu segera ditambahkan bahwa kebiasaan itu harus dibentuk, tidak bisa hadir bagai sulap. Kebiasaan baik memerlukan sikap telaten dan contoh nyata dalam pembentukannya.
Disinilah keteladanan para guru diperlukan. Kita tidak bisa mengharapkan siswa berbudaya literasi, jika selaku guru jauh dari buku, perpustakaan, referensi dan yang sejenisnya. Karena kita guru, maka kitalah yang harus memulainya. Apa yang kita harapkan dari siswa, demikianlah yang terlebih dahulu wajib kita lakukan.
Mengakhiri refleksi ini, saya mengusulkan kepada pemerintah untuk mengambil kembali kewenangan penentuan kelulusan. Negara, sudah mengalokasikan anggaran super besar kepada bidang pendidikan, tidak kurang dari 20 persen APBN. Dari soal isi kepala hingga isi perut dipikirkan, dan diwujudnyatakan dalam deretan angka nota keuangan APBN. Lalu mengapa penentuan kelulusannya tidak menjadi kewenangan pemerintah? Bukankah pemerintah butuh evaluasi untuk mengetahui seberapa efektif anggaran yang mereka gelontorkan? Soal nama dan sistem pelaksanaannya bisa didiskusikan aigar tidak seperti Ujian Nasional yang dulu menjadi tersangka.
Nama dan sistem boleh diganti, asal tujuannya harus dipakai sebagai salah satu instrumen penentuan kelulusan. Saya kira hanya dengan ini pendidikan kita akan kembali menuju relnya. Anak-anak akan mempunyai motivasi, mengapa dan untuk apa dia belajar? Dua hari lalu mendikdasmen mengeluh soal nilai TKA Matematika SMA yang rendah alias jeblok. Saya katakan, mengapa pura-pura kaget? Bukankah negara memang telah menjauhkan anak dari arah tujuannya? Mengapa mereka harus lelah belajar jika pada akhirnya pasti lulus dengan nilai mendekati sempurna walau tak tahu apa-apa?
Demikian suara hati, gunda gulana dan tawaran solutif yang bisa saya keluarkan dari hati, di hari yang penuh tak serius ini. Hari yang disuruh pakai baju nusantara, namun jarang dipanggil naik di panggung adat. Hari ketika saya wajib pakai kain tradisional, tapi rasanya semakin mendekati komunitas tanpa ikatan. Saya pastikan tulisan ini dibuat tidak karena kebencian kepada siapapun, tetapi semata karena saya terpanggil untuk berbuat yang terbaik bagi generasi berikutnya.
Kita mempunyai tanggung jawab moral dan profesional untuk meninggalkan generasi terbaik, bukan sebaliknya membiarkan negara ini diatur oleh mereka yang tidak kompeten.
Selamat Hari Guru Nasional, untuk semuanya. Selamat untuk mereka yang pernah dipenjara karena mendidik dan dikurung karena idealismenya. Selamat bagi mereka yang menjadi pelita, menjadi lentera untuk ruang gulita kebodohan. Selaku guru, saya dan kita semua selalu punya alasan untuk bahagia. Ada tawa dan canda anak-anak yang menjadi sisi lain kehidupan, yang jarang kita jumpai di ruang rapat formal, apalagi jika agendanya bagaimana harus mempertanggungjawabkan keuangan negara kepada inspektorat.
Ada senyum menggoda anak-anak beranjak dewasa, yang diantaranya mungkin akan menjadi jodoh bagi guru-guru muda. Ada pertanyaan kritis anak-anak beruntung yang IQ nya berdiri, dalam hal ini kita wajib melayaninya dengan persiapan lebih. Dan di ujung sana, selalu ada ruang untuk berubah. Mungkin saja kita sedang mengasuh calon ilmuwan handal yang akan mengguncang dunia tiga tahun kedepan.
Atau kita sedang membimbing seorang calon hartawan merangkap dermawan yang akan meraih hadiah nobel pertama untuk Indonesia. Betapa indahnya jika kita menjadi bagian dari sejarah hidup mereka.
(Opini ini merupakan tanggung jawab penulis)
Guru Matematika MAN Manggarai Timur, menyukai tulisan Andrea Hirata, Tan Malaka, dan beberapa pemikir kontroversial lainnya yang menyukai tantangan sebagai jembatan keledai dalam tulisan ini.
