Garismerah.id, Bone - Menanggapi Inspektorat Lakukan Audit Kerugian Negara Terkait Dugaan Penyalahgunaan Dana Yayasan Masjid Al Markaz Bone, Sulawesi Selatan, yang telah diberitakan salah satu media online, Mahasiswa Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Sawerigading Makassar, Andi Abu Mappa, SE, SH, angkat bicara.
Menurut Andi Abu Mappa, sangatlah keliru, kalau inspektorat diminta mengaudit kerugian negara, penyalahgunaan dana yayasan Masjid Al-markas Bone, terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bukan ranahnya.
Ia mengatakan, “BPK itu lembaga audit eksternal, sedangkan BPKP dan inspektorat adalah lembaga audit internal. BPK fokus pada post-audit, sedangkan BPKP dan inspektorat lebih banyak pada proses,” ucapnya kepada media Jumat 10/1/2025.
Menurut peraturan perundang-undangan yang ada, bahwa yayasan tidak termasuk objek yang harus diperiksa BPK. Ia menunjuk pada pasal 6 hingga pasal 12 Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Pasal-pasal ini mengatur tugas dan wewenang BPK. Bab. III. Pasal 6 ayat (1).
Menyebutkan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah Daerah; (c) Lembaga Negara lainnya; (d) Bank Indonesia; (e) BUMN: (f) Badan Layanan Umum;(g) BUMD: (h) lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Nama yayasan sama sekali tak disinggung dalam pasal tersebut. Karena itu, Andi Abu Mappa berkeyakinan, yayasan tidak termasuk objek yang harus diperiksa oleh BPK. dengan demikian bukan menjadi ranah BPK.
Selain itu, yayasan keagamaan yang menjalankan misi sosial untuk kepentingan nirlaba tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sesuai ketentuan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN, PPN atas jasa pendidikan tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan PPN
Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan 2001) jo Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan 2004) sebagai payung hukum.
Pasal 26 ayat (1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. (a) sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat; (b) wakaf; (c) hibah; (d) hibah wasiat; dan (e) perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lanjut Andi Abu Mappa, bentuk badan hukum yang tepat untuk masjid adalah yayasan karena badan hukum yayasan ini terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Hibah yang diberikan kepada masjid oleh pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikenal sebagai Belanja Hibah. Belanja hibah tersebut dapat diberikan kepada: (1) Pemerintah Pusat;(2) Pemerintah Daerah lain;(3) badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau (4) badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 1666 KUHPerdata, penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Penghibahan hanya dapat dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup
Seiring dengan tanggung jawab besar ini, muncul pertanyaan tentang keharusan yayasan untuk menjalani proses audit. Menurut regulasi yang berlaku, yayasan diwajibkan untuk diaudit oleh seorang Akuntan Publik.
Andi Abu Mappa, menilai sesuatu yang merugikan keuangan negara harus dengan multidisiplin, jangan hanya ilmu akuntansi dan ilmu keuangan negara, tetapi juga yayasan. Artinya, apakah sudah membaca dan menjadikan UU Yayasan sebagai bahan pertimbangan, Tutupnya. (Red/Tim)